Rabu, 25 Mei 2011

Perjalanannya Dimulai Sebagai Pencuci Piring


SIHMAN, EXECUTIVE CHEF SANTIKA

MATA Sihman tak berkedip saat melihat beberapa stafnya dengan cekatan mengolah menu masakan. Sesekali dia memberikan perintah pada sang juru masak. Bahkan tak jarang pula, Executive Chef Hotel Santika Yogyakarta ini langsung meracik bumbu dapur untuk memasak menu andalannya.

Selesai memasak, pria kelahiran 10 Mei 1954 ini menghias sendiri piring tempat dia akan menyajikan masakan, diperhatikannya hingga detil. Setelah itu kembali dia mengawasi stafnya sambil terus membantu menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung. ”Usahakan api kompornya tidak terlalu besar,” ujarnya mengingatkan salah seorang koki.



Itulah pekerjaan sehari-hari Sihman di hotel berbintang empat yang terletak di Jl Jenderal Sudirman No 19 tersebut. Dia bekerja sangat profesional dalam menahkodai para koki yang harus menjamin kelezatan, kebersihan dan kesehatan makanan agar saat dihidangkan tidak mengecewakan tamu hotel.

Namun, siapa sangka ternyata Sihman tidak pernah mengikuti sekolah atau pendidikan khusus yang berkaitan dengan juru masak. Ia hanya berbekal ijazah SMA. ”Saya pertama kali belajar masak saat masih SD, karena memang pada waktu itu hobi makan. Selanjutnya, saya banyak belajar dari beberapa teman,” katanya dalam sebuah pertemuan bersama KR di Hotel Santika.

Sihman merupakan segilintir orang yang membuktikan sukses tidak selalu berbanding lurus dengan banyaknya gelar di belakang nama. Menurutnya, kerja keras dan meniti karier panjang serta berliku lebih diperlukan dalam menggapai jabatan sebagai executive chef. Dengan banyaknya pengalaman, maka masakan yang dihasilkan lebih ‘matang’.

Untuk sampai pada jabatan seperti sekarang, Sihman bertahun-tahun mengalami jatuh bangun. Pria asli Yogyakarta ini pertama kali bekerja di hotel pada tahun 1975. Saat itu, Jakarta dipilihnya untuk mengadu nasib. Pekerjaan pertama Sihman adalah di bagian cuci piring. Meskipun pada awalnya ia sedikit keberatan, namun hal itu tidak lantas membuatnya menyerah. Dari tugasnya sebagai pencuci piring ia justru banyak memetik pengalaman hidup berharga.

”Apa yang manusia minta terkadang belum tentu terjawab sesuai keinginan. Mungkin manusia harus belajar terlebih dahulu, sebelum ia siap menerima kebahagiaan di masa depan,” tuturnya.

Perlahan namun pasti, karena keuletan yang ditunjukkannya, ternyata mampu membuat posisi Sihman di hotel tersebut merangkak naik. Salah satu yang menjadi nilai lebih Sihman di mata sang pemilik hotel, ia menguasai banyak bidang, terutama di bagian ‘belakang’. Hal ini tidak terlepas dari semangat belajar tinggi yang dimilikinya. Sihman bahkan tak malu untuk berguru pada bawahannya.

Kehidupan keras di Jakarta memang bukan bualan belaka. Jika tak mampu menghasilkan cukup uang, tentu saja akan kesulitan untuk bisa hidup di ibukota. Menyadari hal ini, tahun 1981-1991, Sihman bahkan kerja rangkap. Pada pagi hari ia bekerja di restoran, kemudian saat sore datang barulah ia ke hotel.

Menginjak pertengahan 1991, ayah dari lima orang anak ini memutuskan untuk pulang kampung ke Yogya dan langsung bergabung dengan Hotel Santika. Di sini, karier Sihman cepat melejit karena menu masakan yang ia tawarkan ternyata cocok dengan lidah berbagai kalangan dan lintas usia.


”Pengalaman yang tidak saya lupakan ketika mantan Wapres Jusuf Kalla datang ke Santika. Saat itu saya rekomendasikan untuk mencoba menu sop buntut goreng, dan ternyata beliau sangat suka. Menu itu juga biasa digemari Sri Sultan HB X serta para pejabat lainnya saat singgah ke Santika,” ungkap suami dari Nursyiah yang juga beberapa kali pernah tampil di acara kuliner televisi swasta.

Melihat potensi yang ada pada penggemar olahraga voli ini, manajemen grup hotel pun lantas mempercayakannya untuk memberi latihan ketika ada pembukaan cabang baru. Beberapa daerah yang pernah ia sambangi yakni Makassar, Bogor, Serpong, Bangka dan Surabaya. Dalam memberi training tersebut, ia bahkan kadang harus tinggal selama beberapa minggu untuk memastikan menu yang mereka sajikan tidak mengecewakan tamu hotel.. 

(Richardo DT)

Selasa, 24 Mei 2011

Seputar Dunia 'Cuap-cuap'


TAKUT acara ulang tahun ke-5 putri sulungnya, Raysa Devi Shanti, tidak meriah, pasangan muda Dianing Ika Wahyu-Yudhastowo minta jasa layanan Master of Ceremony atau MC. Pesta ulang tahun itu diselenggarakan di rumah. Selain mengundang teman-teman sekolah Taman Kanak-kanak, diundang pula para tetangga sebaya dan famili. Pesta si kecil itupun dihadiri sekitar 75-an tamu.
”Ternyata MC memang menjadi kunci sukses acara. Pesta ulang tahun Raysa sangat meriah,” kata Dianing. Dengan MC yang cocok, yang senang tak hanya anak-anak. Tetapi juga para orangtua yang mengantar. Sejak awal, Dianing sudah memperkirakan, acara ultah anak-anak, otomatis harus memperhitungkan para pengantar. Menurut pengalaman karyawati bank swasta ini pula, MC yang pas akan menutupi kekurangan yang ada. Misalnya, soal hidangan boleh sederhana saja. Tetapi dengan guiding dari MC, acara menjadi semarak.


Menurut Dianing, kemeriahan acara jauh lebih penting ketimbang makanan enak melimpah, tetapi acara berlangsung sepi. Dia mengaku tak salah menerima saran teman untuk minta layanan MC yang sekaligus semi event organizer untuk jaminan gengsi acara akan terselenggara maksimal. Sehingga tak hanya tata acara, namun juga menangani dekorasi ruang pesta. Sedang untuk hidangan, dia percaya pada katering langganan kantornya.

Bagi orangtua yang bekerja di luar rumah seperti Dianing-Yudhastowo, meminta jasa MC sangat menolong kelancaran acara yang direncanakan. ”Kami tak mungkin menangani sendiri. Sementara, juga tak enak kalau harus merepotkan tetangga atau famili,” ujar Yudhastowo. Semua menunjukkan pergeseran gaya hidup. Dari saling bantu-membantu antartetangga, menjadi profesional.
 
Pemakaian jasa MC, juga telah merambah acara dukacita atau pemakaman. Disamping acara keagamaan, MC khusus pelayatan profesional pun kini mulai dicari dan dibutuhkan. Keluarga Eddy Yuniarso, misalnya. Ketika ayahandanya wafat, dia memakai jasa MC khusus menghantar upacara pelepasan jenazah. ”Kami tak mau spekulasi dengan MC yang bukan profesional, karena kami ingin menghormati para pelayat yang sebagian besar dari kolega almarhum ayah,” kata Eddy.
***

SUKSES tidaknya suatu acara sangat ditentukan oleh para pendukungnya. Tanpa MC yang bagus, acara tak akan berjalan mulus. Namun, benarkah menjadi seorang MC cukup bermodalkan ‘cerewet’ dan berani tampil malu saja?

Sekarang banyak sekali hajatan-hajatan keluarga, pesta pernikahan dan seremoni lainnya yang diselenggarakan. Mulai dari yang kelas kampung sampai tingkat hotel. Mulai dari syukuran khitanan sampai pesta pernikahan. Jadi, peluangnya sangat terbuka lebar bagi mereka yang menggeluti profesi ‘cuap-cuap’ tersebut.

Menurut Ninda Nindiani, saat ini banyak kesempatan bagi mereka yang memiliki bakat di bidang MC untuk belajar mengembangkan diri. Bagi pemula memang terkadang ada keraguan saat harus berbicara di depan orang banyak. Namun, kalau rasa takut itu bisa diatasi, niscaya semuanya akan berjalan lancar.

”Saya saja sampai sekarang masih sering merasa gugup ketika tampil di panggung, terlebih lagi pada acara-acara besar. Bicara di depan banyak orang memang membutuhkan keberanian tersendiri,” ujar Ninda usai peluncuran bukunya ‘Sukses Jadi MC Profesional, Positif, Inspiratif’ di Dixie Easy Dining yang di gagas Penerbit-Percetakan Kanisius.

Lulusan Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada ini mengatakan, sekarang bisa dikatakan sangat mudah menemukan bakat anak-anak muda yang potensial menjadi MC karena banyak kesempatan yang ditawarkan televisi, sehingga talenta mereka bisa terpantau. Kendati begitu, ia mengingatkan, dengan segala kemudahan itu, jangan sampai malah membuat mereka menjadi MC yang instan.

”Seorang MC yang baik, tentunya selalu mempersiapkan segala sesuatu sebelum acara. Hal ini penting agar kita tidak blank atau kehilangan materi. Biasanya di saat akan naik panggung, selalu saja ada masalah. Di saat-saat seperti itulah kadang mental kita di uji,” ungkapnya.

Sekarang, selain meneruskan aktivitas sebagai MC dan presenter televisi, ia menjadi dosen tamu program Public Speaking dan Teknik Presentasi di beberapa universitas. Ia juga dipercaya menjadi trainer pelatihan Public Speaking, Public Relations, Media Relations dan Pengembangan Diri untuk berbagai kalangan seperti anggota DPRD, para istri Kepala Daerah, serta karyawan BUMN di berbagai kota di Indonesia.

Lain lagi dengan pelawak Kelik Pelipur Lara yang juga sering diminta untuk ngemsi. Ia mengaku sangat ‘lemah’ dalam hal persiapan sebelum acara, dan hanya mengandalkan improvisasi. Namun, berimprovasi di tengah-tengah banyak orang bukan lah perkara yang gampang. Pasalnya, jika salah membuat improvisasi bisa-bisa membuat pihak lain tersinggung.
***

KELIK sepertinya sadar akan hal ini. Oleh karenanya, agar tidak selalu kehabisan bahan untuk berimprovisasi, ia selalu memperhatikan perkembangan terbaru lewat media. ”Saat kita melemparkan joke yang sedang menjadi topik hangat, biasanya respons dari penonton akan positif,” ucap pria yang terkenal piawai menirukan cara bicara beberapa pejabat, termasuk mantan Wapres Jusuf Kalla.

Salah satu hal yang menjadi perhatian para MC adalah untuk urusan nilai fee atau kontrak. Menurut Kelik, kadang ada pihak event organizer (EO) atau pemilik acara masih sering menganggap sebelah mata fungsi dan profesi seorang MC. Kesannya, menjadi MC itu pekerjaan yang gampang dan tidak membutuhkan persiapan atau skill khusus.

Dikatakan, kadang memang susah menolak rayuan yang mengharap iba dari klien lantaran sudah kenal sebelumnya. Maka, para MC kadang tak bisa berkutik jika sudah keluar kalimat sakti seperti ”Anggap saja ini harga pertemanan” atau ”Dananya terbatas mas..”.

Untuk itulah, lanjut pria yang mengaku pernah diminta jadi MC khitanan ini, seorang MC harus memiliki wawasan luas. Sebelum acara, cobalah selalu mencari tahu seberapa besar scope event yang diadakan, brand apa yang menjadi sponsor penyelenggaraan acara dan lain sebagainya.

Berdasarkan pengalamannya, Kelik mengatakan ia acap kali menemukan EO yang tidak memiliki persiapan bagus sebelum acara. Bahkan tak jarang ia sendiri yang terkadang memastikan, apakah ada doorpize atau tidak, meskipun dalam rundown sudah tertera. ”Apabila sudah sering menghadapi situasi seperti itu, maka dengan sendirinya mental kita terasah,” sambungnya.


(Richardo DT)

Berdamailah dengan Diri Sendiri...

Jika ditanyakan pada setiap manusia, apakah mudah melupakan rumah tempat mereka pertama kali dibesarkan? Saya yakin jawabannya tidak. Masalah seperti ini biasanya paling dirasakan oleh anak-anak. Mereka terkadang menolak jika harus pindah rumah karena khawatir tidak akan merasa senyaman seperti rumah sebelumnya.


Itu memang merupakan premis sederhana yang kurang masuk logika kedengarannya. Tapi, apakah masalah perasaan juga selalu bisa dikonversikan dengan sempurna apabila dihadapkan pada logika? Saya yakin tidak semudah itu. Ada banyak benturan dalam diri seorang anak, sebelum ia akhirnya bisa menerima keputusan jika ia memang harus pindah ke rumah baru.
Bagaimana mungkin bisa melupakan kamar tempat pertama kali kita terbaring saat masih balita? dapur tempat makan bersama keluarga? ruang tamu yang biasanya tempat bercengkrama seraya menonton televisi dikala malam? halaman rumah tempat bermain bersama dengan teman tetangga? Hal-hal semacam itulah yang kadang akan selalu kita ingat, meskipun berpuluh-puluh tahun kemudian.


Kerinduan semacam itu, oleh orang-orang tua zaman dulu, ada penyebabnya. Begini (bagi yang percaya saja), saat kita pertama kali dilahirkan, biasanya ari-ari kita dipotong. Dan bagi beberapa orangtua ada yang menanamkannya dibawah rumah. Hal itu menyebabkan ikatan batin tertentu dengan rumah tempat ia dibesarkan. Jadi, sampai besar pun memori indah di rumah pertama akan selalu terbawa.


Dari segi positif, kenangan masa lalu biasanya akan mendatangkan sumber inspirasi bagi seseorang. Entah sudah berapa banyak, para penulis, pembuat film atau pekerja kreatif lainnya yang dalam testimoninya selalu menyebutkan pengalaman masa kecil merupakan salah satu inspirasi terciptanya karya mereka.


No kidding. Seseorang yang sering berkhayal mengenai masa kecilnya, biasanya ingin mengulangnya kembali. Dipandang dari segi negatif, apakah mereka bisa disebut tidak bisa melupakan masa lalu dan terjebak didalamnya? Tidak. Mereka hanya sekedar rindu saja dan tidak tenggelam didalamnya. Karena seiring dengan banyaknya aktifitas, biasanya hal-hal semacam itu akan terkikis dengan sendirinya.


Namun, tetap saja sampai menginjak umur berapapun, dalam momen-momen tertentu kita kadang 'tergoda' untuk kembali ke masa-masa lampau. Kendati ada beberapa kenangan buruk yang turut serta didalamnya, tak lantas membuat kita 'mundur'.


Bicara soal kenangan buruk, hal ini biasanya mendatangkan trauma yang mendalam dan malah menciptakan ketakutan tersendiri terhadap masa lalu. Saya sering mendengar cerita teman yang mengatakan, jika ada alat yang bisa menghapus masa lalu, maka mereka ingin membelinya, semahal apapun itu.


Saya kadang cukup miris juga jika mendengar cerita buruk yang malah mendatangkan trauma berkepanjangan terhadap teman saya. Bukan berarti saya melewati masa kecil dengan baik-baik saja. Seperti sebagian orang, saya juga pernah mengalaminya. Hanya saja, hal itu tidak membuat saya terperangkap di dalamnya. Caranya? Memaafkan diri sendiri dan orang lain yang ikut menciptakan trauma tersebut.


Kendati sangat berat karena rasanya tidak adil, tapi itu merupakan cara terbaik yang saya ketahui. Saya beranggapan, tidak ada hal baik dan buruk di dunia ini yang abadi. Berdamai dengan diri sendiri adalah cara terbaik mengatasi sebuah permasalahan.


Saya menganalogikannya seperti ini. Didalam otak kita, ada beberapa ruang tempat menyimpan memori, termasuk yang buruk dan menyenangkan. Yang sering saya lakukan yakni membuka ruangan tempat menyimpan memori indah, karena hal itu dapat membuat saya mudah menjalani hidup. Namun, saya juga kadang-kadang membuka pintu tempat kenangan buruk tersimpan. Untuk apa? Sebagai pengingat jika saya terbentuk dari hal-hal yang baik dan buruk.


Yang pasti saya bukanlah seorang motivator atau pun problem solver. Cerita ini saya tulis setelah mendengar cuhatan dari seorang teman (November 2010) yang sampai berniat bunuh diri karena terus berada dalam lingkaran buruk masa lalunya. Ketika berada di rumah sakit, wanita yang berusia sebaya dengan saya ini mengatakan, trauma masa kecilnya sangat kuat sekali seolah menghantuinya setiap detik.


Saya tidak akan menceritakan masalah apa yang dideritanya, karena tidak ingin menambah lukanya. Disamping itu, dia juga tidak mengetahui jika saya menulis berdasarkan pengalamannya, bukan untuk mengingatkan dia mengenai trauma yang dihadapinya, melainkan sebagai penyemangat.


Teman saya ini sudah beberapa kali berkonsultasi dengan psikiater. Namun, kadang-kadang hal itu tidak mampu untuk mengatasi masalahnya. Keluarga pun sudah memberi suport yang tak henti. Saya berharap, meskipun kontribusi saya cukup kecil, hanya lewat tulisan, juga turut andil dalam mengembalikan semangatnya menjalani kehidupan. Bukankah dunia ini tempat yang indah untuk tersenyum?


*Desember 2010

Antara Ayam Goreng, Kayu Bakar dan Konsistensi 2 Ratus Rupiah…

Banggggguuunnnnnnn……udah siang. Mandi sana biar nanti gak terlambat sekolah…..
Itulah petikan salah satu kalimat terkenal dari orang yang melahirkan saya. Kurang lebih selama enam tahun, sejak masih di bangku SD, saya sangat akrab dengan kalimat itu. Sekarang mungkin sudah hampir 14 tahun saya tidak mendengarnya lagi. Kangen? Jelas banget, heehheee…

Itulah awal saya memperkenalkan sosok ibu kepada Anda. Barangkali saya terlalu sombong kalau menyebut ibu adalah orang yang baik. Tapi, saya lebih suka menyebut dia figur yang lucu dan menyenangkan. Nama lengkap ibu saya Theresia Nona. Saya sampai sekarang masih penasaran apakah ada korelasinya nama depan mamak, demikian saya memanggilnya, dengan Bunda Teresa yang terkenal sangat pemurah dan penyabar itu.

Penyabar? Hahhaaaa….kalau mengingat masa kecil sewaktu dia memaksa saya minum susu dancow setiap pagi, tunggu dulu…. Mungkin saya setuju kalau mamak penyabar dalam hal menuruti selera makan dan rela mengganti menu masakannya secepat kilat agar saya mau makan.

Yuuuppss….sejak kecil, diantara saudara yang lain, saya memang cerewet ketika di suruh makan. Jadi, bagi yang sudah pernah melihat saya, maka tidak akan heran kenapa bentuk tubuh saya seperti ini. Dulu…selera makan saya baru keluar kalau ada ayam goreng di meja makan. Selain itu, no way….Apalagi sewaktu disuguhi sayur, alamat deh kalau bakal dibuang ke bawah meja. Untunglah sekarang saya sudah tidak memilih-milih makanan.
Dalam hal memasak, saya sangat bangga dengan mamak saya. Farah Quin pun lewat mungkin, hehehee…. O iya dulu selain ayam goreng, saya sangat suka dengan sate ayam yang tentunya dibuat sendiri oleh si mamak. Sewaktu dia membakar sate ayam, saya selalu setia menunggu di sampingnya. Dia tau, sate pertama yang sudah matang pasti langsung diserahkan pada saya, tanpa harus bertanya mau atau tidak. Kejadian ini berlangsung hampir beberapa tahun…

Hal sabar lainnya yang saya ingat, mamak tak pernah sekalipun memukul saya, baik dengan tangan apalagi menggunakan rotan, seperti yang sering saya tonton di film-film itu. Cuma dulu saya pernah sekali hampir mau dipukul menggunakan kayu bakar (api). Waktu itu ceritanya saya sedang bermain bersama kakak saya. Suara kami yang terlampau keras, rupanya terdengar mamak yang sedang berbelanja di warung sebelah.

Ketika saya tengah asik bermain kungfu-kungfuan ala Jet Lee di ruang tamu, mamak pun lewat. Herannya dia tidak menegur kami, dan malah langsung ke dapur. Padahal waktu itu saya sempat berhenti sebentar, karena takut di marah. Setelah melihat dia ke dapur, saya pun melanjutkan adegan laga itu. Namun, selang berapa menit kemudian saya kaget bukan kepalang karena mamak berdiri di belakang kami dengan membawa sebatang kayu bakar….

Apa yang kami lakukan? Pastinya ngaciiirrrr……Hahahhahahaa……Inilah seumur hidup saya hampir di pukul pakai kayu api. Saya waktu itu takut kalau harus pulang cepat. Jadi, pulanglah saya agak sore menjelang malam, menunggu pas Bapak udah di rumah, maksudnya supaya bisa minta pertolongan. Oohhh…. ya saya lupa memberitau profesi mamak adalah seorang penjahit. Waktu itu ketika saya datang kerumah dan melewati depan beliau dengan perasaaan yang campur aduk, mamak duduk di ruang tamu seperti biasa sambil menjahit. Seolah tidak terjadi apa-apa…

Mau tau apa yang pertama kali diucapkannya? Udah mandi belum? Abis itu makan ya. Tuh disana udah ada ayam goreng, waaahhhhhhh………Dengan muka pura-pura berdosa saya pun bergegas ke kamar sambil menahan tawa. Dalam hati saya berkata, cukup sekali itu saja insiden kayu bakarnya, dan itu menjadi sejarah terlucu yang sering saya munculkan kembali ketika rindu kampung halaman di Kalimantan, hehheeee……

Selain itu, saya selalu mengingat sangat konsistennya si mamak ini dalam memberi jatah uang jajan pada anaknya. Sewaktu masih SD, saya sangat akrab dengan jatah uang dua ratus rupiah. Dan hal ini berlangsung sampai beberapa tahun, padahal teman saya yang lain kala itu selalu mendapat tambahan, seiring dengan kenaikan kelas.

Untuk hal yang satu ini, saya memang tidak bisa berbuat apa-apa. Kata mamak, kalau mau makan kenyang di sekolah kan bisa bawa bekal nasi dari rumah. Tapi, saya waktu itu gengsi kalau harus repot-repot bawa tempat nasi. “Kamu mau belajar atau cuma numpang jajan aja di sekolah?” ucapnya kala itu.

Ketika kalimat sakti tersebut keluar dari mulut si mamak, saya tak bisa membantah. Beberapa tahun kemudian saya baru sadar kalau apa yang dilakukan si mamak memang untuk membentuk mental anaknya agar tidak mata duitan (Gayus harus baca ini). Padahal, waktu itu saya selalu menyebut dia pelit, hheheee…..sori mom….

Tulisan ini sebenarnya saya buat sebagai ucapan terimakasih pada si mamak karena telah membesarkan saya seperti ini, dan bertepatan dengan Hari Ibu tanggal 22 Desember. Sekali lagi, saya tidak akan menyebut dia sebagai pahlawan atau apalah itu. Saya lebih suka menyebut dia teman yang menyenangkan….

*Desember 2010

Terbengkalainya Harapan Putera Langit

Teriknya panas matahari siang itu, tak membuat Putera Langit (16) mengurungkan niatnya untuk kembali bermain bola bersama teman-teman sekitar rumah di kampung Nusantara Belantara. Meskipun pertandingan biasanya baru mulai pada sore hari, namun sejak siang Putera Langit dan teman-temannya sudah berkumpul. Mereka biasanya terlebih dahulu membahas seputar isu sepakbola terbaru.

Saya kebetulan hanya iseng saja ngobrol dengan anak-anak SMA itu dan mencoba untuk masuk dalam pergaulan mereka, walaupun dari segi umur terpaut agak jauh. Kegiatan sehari-hari mereka memang dihabiskan untuk bermain bola. Bukan karena tidak ada kegiatan lain, namun karena mereka cinta olaharaga sejuta rakyat itu.

Sepintas saya melihat wajah muram Putera Langit, tidak sepertinya biasanya. Padahal, Putera Langit terkenal lihai dalam mencairkan suasana, lewat celetukan-celetukan konyolnya. Setelah saya selidiki dan bertanya dengan beberapa temannya, barulah saya mengerti. Ternyata, penyebab dari murungnya wajah anak laki-laki serba bisa itu karena masalah uang SPP.

Ayah Putera Langit adalah seorang pensiunan pegawai negeri sipil. Pekerjaan yang saat ini ia lakoni yakni berjualan bakso. Sementara ibunya, sehari-hari menerima orderan jahit pakaian dari tetangga sekitar rumah. Putera Langit adalah anak tunggal.

“Dengar-dengar lagi ada masalah ya?” ujar saya membuka pembicaraan.

“Iya mas. Tau dari mana?” kata Putera Langit seraya menatap sekilas.

“Tadi saya diceritain sama teman-teman kamu.”

“Ohhhh…..Tapi ya gak apa-apa kok mas. Nanti juga pasti beres.” Putera Langit pun bergegas ke lapangan menyusul teman-teman di lapangan.

Saya memang sering mengikuti perkembangan Putera Langit. Padahal kami tidak memiliki ikatan saudara. Saya hanya kagum karena dia termasuk anak yang multitalenta. Di dalam tim sepakbola, Putera Langit menempati posisi playmaker. Dia merupakan ruh permainan tim. Mulai dari mengontrol ritme pertandingan, mengambil tendangan penjuru, tendangan bebas hingga algojo penalti, dipercayakan kepadanya.

Di lihat dari permainannya pun, Putera Langit termasuk paling menonjol. Dia mampu mendribling bak Zidane yang membuat lawannya terperangah, punya keakuratan tendangan bebas seperti Beckham dan dingin saat mengeksekusi penalti. Tak heran, dalam setipa laga, Putera Langit selalu menjadi incaran bek-bek lawan yang kasar. Namun, itu semua tidak pernah membuat ia gusar. Selesai pertandingan, Putera Langit pun selalu tersenyum kepada sang lawan, meskipun ia mendapat balasan senyum kecut.

Diluar lapangan hijau, Putera Langit bisa memainkan banyak olahraga. Dia tergolong piawai saat bermain voli, tenis meja, catur, biliar, bulutangkis serta sedikit bola basket. Bagaimana mungkin seorang bocah berusia 16 tahun bisa menguasai banyak cabang olahraga? Hal ini tidak terlepas dari peran sang ayah yang sama-sama gemar olahraga. Semua jenis cabang olahraga itu ia dapat saat masih duduk di bangku sekolah dasar.

Pada awalnya, Putera Langit hanya bersenang-senang saja. Namun, tanpa ia sadari, hal itu justru membuat ia tampak istimewa. Jika dibandingkan dengan teman sebayanya, Putera Langit memang terbilang menonjol. Selain itu, Putera Langit juga memiliki ketertarikan dibidang seni. Jika tidak sedang keluar rumah, dia sering bermain gitar dan bernyanyi, serta membuat puisi. Yang pasti, di mata saya Putera Langit adalah anak yang cerdas dan periang.

Hanya saja, segala keriangan Putera Langit runtuh karena dihadapkan pada masalah yang tidak sanggup ia selesaikan sendiri. Putera Langit sebelumnya sudah beberapa kali mengajukan surat untuk mendapatkan beasiswa. Karena dia termasuk siswa yang selalu masuk 10 besar dan berprestasi dalam bidang olahraga, Putera Langit yakin akan mampu meraih bantuan dana untuk pendidikanya.

Janji tinggalah janji. Uang yang dulunya sudah dijanjikan oleh pihak sekolah untuk diberikan padanya, ternyata hingga kini belum ia dapatkan. Yang ada, sang Kepala Sekolah justru ditangkap pihak kepolisian karena di duga menggelapkan dana beasiswa. Itu artinya, uang sekolah untuk Putera Langit lenyap tak berbekas. Musnah sudah harapannya.

+++

Menginjak malam, Putera Langit seperti biasa bermain gitar di dalam kamar. Lama, ia hanya memainkan nada-nada tak beraturan, padahal pikirannya sedang melayang ke tempat lain. Merasa lelah, ia pun meletakkan gitarnya dan mulai merebahkan diri diatas kasur empuk yang sudah selama 10 tahun tak pernah diganti.

Dia mulai mereka-reka masa depannya. Jika memilih profesi sebagai olahragawan, ia takut tidak bisa membantu perekonomian keluarga. Ia pun meyakinkan diri kalau olahraga yang telah ia tekuni selama ini, terutama sepakbola, hanya dijadikan sebagai hobi saja. Kelak, ia bertekad untuk kerja kantoran saja atau menjadi pegawai negeri sipil, mengikuti jejak ayahya.

Sungguh sayang, padahal Putera Langit sempat beberapa kali mendapat panggilan untuk latihan bersama dengan Cakar Garuda, tim sepakbola lokal di kampung Nusantara Belantara. Dalam beberapa kali kesempatan, sang pelatih sempat menawarinya untuk bermain saja bersama mereka. Namun, Putera Langit sadar, jika menjadi pemain di tim sepakbola lokal, apalagi sekelas antar kampung, tidak akan bisa membantu perekonomian keluarga.

Tanpa terasa, waktu cepat bergerak dan sudah pukul 01.00. Mata Putera Lagit pun tak mampu lagi untuk menerawang….

*Februari 2011

EPILOG PETANG SOAL PERTUNJUKAN

Menjadi seorang master di panggung bukanlah perkara mudah, apalagi master di kehidupan sendiri. Kehidupan memang rumit! ada aja masalah yang datang. Tapi, satu hal yang bisa membuat saya kemudian berpikir lebih ringan adalah, kehidupan yang kita jalani sungguh ibarat sebuah pertunjukan. Berawal dan berakhir.

Kalau mau berakhir duka, cukup lakukan kesalahan bodoh, dan nikmatilah akibatnya. Kalau mau berakhir bahagia, maka rangkaikanlah cerita yang membahagiakan, dan jalanilah. Mana yang Anda pilih? Saya sih ngambil pilihan kedua. Kalau tiba-tiba dikasih tantangan, jalanilah seperti saat harus naik ke atas pentas...


tarik nafas...

tutup mata...

ucapkan doa...

hembuskan nafas...

berikan senyum...

dan langkahkan kaki ke panggung dengan langkah pasti.

lanjutkan...

toh pertunjukan pasti akan berakhir....

Kemegahan Bukit Kelam di Sintang

SESUAI dengan namanya, Bukit Kelam sejatinya adalah bukit, karena material yang membentuknya adalah batuan keras. Warga sekitar menganggapnya sebagai batu. Mereka meyakini, Bukit Kelam merupakan bongkahan batu terbesar kedua di dunia.
Kawasan Wisata Bukit Kelam berada di wilayah Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar). Daya tarik objek wisata alam perbukitan, khususnya kawasan wisata alam, dapat dilihat dari kondisi perbukitan itu sendiri yang memiliki keindahan khas. Bukit Kelam berada diantara dua sungai besar yaitu Sungai Melawi dan Sungai Kapuas.
Oleh masyarakat sekitar, keberadaan Bukit Kelam dikaitkan dengan legenda Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Bujang Beji dan Tumenggung Marubai merupakan kepala kelompok para penangkap ikan Sintang. Bujang Beji beserta kelompoknya menguasai Sungai Kapuas, sedangkan Tumenggung Marubai beserta kelompoknya menguasai Sungai Melawi.
Karena perbedaan hasil tangkapan ikan, muncul niat jahat Bujang Beji untuk menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar. Lalu, ia pergi ke Kapuas Hulu (salah satu kabupaten di Kalbar) untuk mengangkat batu besar yang terdapat di puncak sebuah Bukit di daerah bernama Nanga Silat, dan membawanya ke Sungai Melawi.
Namun, di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi, dewi-dewi dari khayangan menertawakannya beramai-ramai. Tatkala mendongakkan kepala mencari asal suara, tanpa disadarinya, ia menginjak duri beracun. Seketika itu juga, batu yang dipikulnya terlepas dan kemudian terbenam di suatu tempat bernama Jetak.
Menurut legendanya, batu besar itu kemudian tumbuh perlahan-lahan menjadi sebuah bukit. Dewasa ini, bukit tersebut dikenal dengan Bukit Kelam, sebuah obyek wisata unik dan eksotik yang sangat dikagumi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Dinamakan Bukit Kelam karena batu-batu yang terdapat di bukit tersebut berwarna hitam.
Bukit Kelam sendiri sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata lainnya seperti terbang layang dan panjat tebing karena terletak pada ketinggian 50-900 meter dari permukaan laut. Pohon yang tumbuh dikaki bukit umumnya berbatang tinggi, sedangkan dipuncaknya ditumbuhi semak semak.
Pada dinding bukit jarang ditumbuhi tumbuhan karena terdiri dari batu terjal sehingga pepohonan yang yang tumbuh dan tertata rapi. Di Bukit ini juga terdapat tumbuh-tumbuhan langka seperti kantong semar raksasa yang oleh masyarakat setempat dipergunakan sebagai wadah untuk menanak nasi, serta terdapat pula anggrek hitam. Hanya saja, kedua tumbuhan tersebut jarang bisa ditemukan.
Pendakian ke puncak bukit dapat ditempuh melalui dua cara yakni mengunakan tangga atau melalui tebing batu yang sangat terjal dan menantang. Luas wisata Bukit Kelam sendiri sekitar 520 hektar. Udaranya sangat sejuk sehingga cocok untuk rekreasi keluarga. Di wilayah ini juga memiliki rentetan perbukitan lainnya, Bukit Luit dan Bukit Rentab.
Ketika berada di puncak bukit, Anda dapat melihat kota Sintang dari kejauhan. Kesejukan udara di puncak bukit ini dapat membuat kita semakin betah untuk tinggal sejenak. Bagi pecinta alam, puncak bukit ini seringkali dijadikan area perkemahan.
Wisata Rohani Bukit Kelam
Di sekitar Bukit Kelam, juga terdapat kawasan Wisata Rohani. Kawasan Wisata Rohani ini diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat Drs Cornelis, MH pada tanggal 3 Mei 2008. Terletak menyatu di dalam kawasan wisata Bukit Kelam, obyek wisata ini turut melengkapi pilihan bagi wisatawan selain menikmati indahnya air terjun dan panorama bukit batu nan indah.
Kawasan Wisata Rohani Bukit Kelam ini diprakarsai oleh Keuskupan Sintang sebagai salah satu sarana keagamaan umat di Sintang dan juga Kalbar. Pada hakekatnya Kawasan Wisata Rohani dimanfaatkan sebagai tempat ziarah, berdoa dengan khusyuk, dan untuk melaksanakan retret (pembinaan rohani). Oleh karena itu, biasanya kawasan wisata ini ramai dikunjungi pada hari besar seperti Natal, Paskah dan selama bulan Maria.
Di Kawasan Wisata Rohani Bukit Kelam juga dilengkapi sebuah rumah retret bernama Temenggung Tukung. Kawasan Wisata Rohani Bukit Kelam ini terletak lebih kurang 30 km dari kota Sintang. Jika ditempuh dengan kendaraan roda empat akan memakan waktu sekitar 45 menit. Namun perjalanan itu terasa pantas untuk dapat menikmati panorama nan mengagumkan di Kawasan Wisata Rohani Bukit Kelam. (Richardo DT)

MENENGOK AKTIVITAS SINTANG ORANGUTAN CENTRE (1) ;


Perang Panjang Melawan Kepunahan

Saya melakukan peliputan ke pusat penyelamatan satwa orangutan (Pongo pygmaeus) di Sintang Orangutan Centre di Kalimantan Barat (Kalbar), Desember 2010. Berbagai upaya dilakukan di sana, untuk menjaga primata yang dilindungi undang-undang ini dari kepunahan. Berikut hasil laporannya, yang dimuat secara bersambung. Tulisan ini pernah dimuat secara bersambung di SKH Kedaulatan Rakyat.

MADU meleleh dari lubang-lubang kayu gelondongan yang sudah dilubangi. Orangutan (Pongo pygmaeus) pun sibuk menjilat tongkat kecil yang ia masukkan ke dalam lubang madu itu. Para pengasuh bayi orangutan ikut sibuk menyuntikkan madu ke lubang-lubang kayu. Sesaat kemudian, para orangutan berebut mendapatkan madu dengan menggunakan alat atau tangan mereka.

Itu hanya salah satu jenis enrichment (pelatihan) dari sekian banyak yang dibuat oleh perawat satwa di Pastoran Kobus di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar). Pusat penyelamatan satwa yang bernama Sintang Orangutan Centre (SOC) tersebut dikelola Centre for Orangutan Protection (COP) bersama dengan Jakarta Animal Aid Network (JAAN), dan baru berdiri pada 2010.

Sebelumnya, pusat penyelamatan satwa pernah dibangun oleh Gibbon Foundation pada tahun 2004. Pusat ini menjadi solusi jangka pendek bagi orangutan yang banyak dipelihara secara ilegal.

Di atas kertas, orangutan merupakan salah satu jenis satwa liar yang paling dilindungi di Indonesia. Kenyataannya, masyarakat bebas membunuh dan memelihara orangutan. Orangutan dipelihara secara ilegal, dan sebagian besar kondisinya mengenaskan. Ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya, seperti motif ekonomi atau masyarakat tidak mengerti jika yang mereka lakukan melanggar hukum.

Fokus Akar Masalah

Saat ini, para aktivis COP dan JAAN sedang bekerja membangun kandang-kandang baru di Kobus dan melatih orangutan di Hutan Wisata Baning, Sintang. COP sendiri merupakan sebuah kelompok aksi langsung, yang terdiri dari putra-putri Indonesia asli.

COP mengkampanyekan penghentian segera terhadap penghancuran hutan hujan tropis di Indonesia dan pembantaian terhadap orangutan. COP fokus pada penanganan akar permasalahan tersebut sembari menyelamatkan bayi-bayi orangutan korban perburuan liar dan penggundulan hutan.

Menurut Michael Irarya, perwakilan COP yang ikut merawat bayi-bayi orangutan, COP bekerja diseluruh wilayah di Kalimantan. Bahkan kadang-kadang juga di Sumatra. “Kami akan melakukan perjalanan kemana saja, serta segera menangani dan menuntaskan permasalahan yang terjadi. Termasuk pula melakukan investigasi terhadap kejahatan hutan dan berkonfrontasi dengan para pelakunya,” ujar pria asli Salatiga tersebut.

Dikatakan, COP bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk memberdayakan masyarakat lokal yang merupakan pelindung orangutan dan hutan terbaik dalam jangka panjang. Tugas harian Michael dan pengasuh lainnya dimulai dengan memberikan pakan orangutan pada setiap kandang. Setelah itu dilanjutkan dengan mengajak mereka untuk pergi ke hutan pada pukul 8 pagi sampai dengan pukul 11 siang. Di dalam hutan, ia dan pengasuh lainnya mencatat perilaku dan jenis-jenis pakan yang dimakan orangutan.

“Menyediakan makanan, air bersih, pengayaan kandang serta melatih staf di kebun-kebun binatang adalah tanggung jawab moral semua orang. Namun, saat ini hanya COP yang melakukan hal tersebut di Indonesia. Bagi kami, semua orangutan sangatlah berarti serta layak dihormati dan ditolong,” jelasnya. (Bersambung)


MENENGOK AKTIVITAS SINTANG ORANGUTAN CENTRE (2-HABIS) ;

Hujan Turun, Jenuh Tinggal di Kandang

BEBERAPA kegiatan yang dilakukan COP untuk membiasakan orangutan agar bisa hidup di habitat aslinya yakni school forest (sekolah hutan). Jika orangutan masih berusia muda, maka akan lebih mudah saat mengajar mereka di sekolah hutan. Sebaliknya, jika orangutan yang sudah lama dipelihara masyarakat, biasanya mengalami kesulitan saat harus beradaptasi kembali dengan hutan.

Kendala utama yang biasanya dihadapi para pengasuh yaitu saat hujan sering turun. Tak jarang, orangutan mengalami kejenuhan karena harus tinggal di kandang. Beberapa hal mereka lakukan untuk mengantisipasi kejenuhan orangutan. Salah satunya enrichment dibuat lebih kreatif dan variatif.

Di sekolah hutan, para pengasuh terkadang membuat balok dari kayu yang dilubangi sebagai tempat buah. Makanan yang disajikan tidak langsung terlihat oleh orangutan. Mereka harus mencari buah di dalam kotak. Dari kotak sederhana yang dibuat dari kayu bekas bangunan itu, ternyata cukup efektif merangsang kreativitas orangutan dalam mencari-cari makanan.

Michael menjelaskan, dalam setiap bulan, perawat satwa dan dokter hewan melakukan pertemuan untuk melakukan evaluasi serta rencana kerja berikutnya. Para perawat satwa menyampaikan ide-ide tentang pembuatan enrichment . Perencanaan pembuatan enrichment setiap hari berbeda, namun bisa diulang untuk minggu berikutnya. Saat ini di Kobus Sintang ada 6 bayi orangutan dan 5 yang dewasa.

Pelatihan terhadap orangutan pun di buat berbeda-beda, menyesuaikan umur dan kondisi psikologis mereka. ”Setiap kali memberi makan, setidaknya dibutuhkan sekitar 5 kilogram pakan yang terdiri dari buah-buahan dan sayur. Dalam sehari, biasanya mereka diberi makan dua hingga tiga kali,” ujar Michael Irarya dari COP.

‘Korban’ Lahan Sawit

Indonesia layak berbangga diri lantaran termasuk negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, nomor 3 di dunia setelah Brasil dan Kongo. Ironisnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daftar terpanjang di dunia mengenai satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah. Penyebab utamanya adalah pembabatan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit.

Bagi satwa liar, kata Michael, musnahnya hutan berarti hilangnya habitat dan sumber makanan. Beberapa jenis satwa liar, terutama orangutan, biasanya mempertahankan hidup dengan memakan tunas kelapa sawit, sehingga sering dianggap sebagai hama yang merugikan. Karena itu, dengan sengaja perusahaan kelapa sawit membasminya.

Dikatakan, hampir sebagian besar orangutan yang berada di pusat-pusat rehabilitasi dan reintroduksi, memiliki latar belakang sebagai korban perkebunan kelapa sawit. Jumlah itu tidak termasuk yang gagal diselamatkan karena lukanya terlalu parah atau diketemukan sudah dalam keadaan mati. Situasi ini terus terjadi hingga sekarang.

Michael menjelaskan, dana yang dibutuhkan untuk memelihara orangutan cukup besar . Dana tersebut digunakan untuk beberapa hal seperti membeli pakan, perawatan kesehatan dan pelatihan untuk menjadi orangutan liar. Hanya saja, bantuan dari pemerintah dirasa masih sangat kurang.

”Jadi, cara termurah untuk menyelamatkan orangutan adalah melindungi habitat alaminya. Pemerintah Indonesia sudah seharusnya meninjau ulang izin-izin konsesi kelapa sawit yang terbukti mengancam keselamatan orangutan. Langkah nyatanya adalah dengan menghentikan dulu proses pembabatannya,” pungkasnya. (Richardo DT

Rindunya Kami Bermain Bola


Dulu….

Rumput dan tanah lapang itu teman kami

Seluruh canda dan kemarahan ada disana


Dulu….

Kami bisa bermiain sepuasnya

Bahkan berteriakpun tak ada yang melarang

Tak ada pembatas disana

Yang ada hanya tiang gawang dan garis pinggir lapangan


Kini…..

Tak ada lagi rumput dan tanah itu

Yang ada hanyalah pohon beton dan pohon beton


Kini….

Saat sore kembali datang

Peluh kami enggan diajak bersahabat lagi

RUDOLF G SMEND, 'Penyelamat' Batik dari Jerman


TAMPAKNYA terlalu berlebihan jika menyebut kain-kain batik bersejarah dari Indonesia, selama ini dikumpulkan atau mungkin 'diselamatkan' oleh Rudolf G Smend, pencinta dan kolektor batik berkebangsaan Jerman. Namun, faktanya buku-buku yang dikeluarkan oleh pria jangkung tersebut memang menjadi rujukan dari beberapa desainer dan pecinta batik Tanah Air.

Tak bisa dipungkiri, kita memang patut bangga telah menyumbangkan konsep batik sebagai terminologi dalam khazanah tekstil dunia yang kini penggunaannya membentang mulai dari Afrika hingga China. Hanya saja, cukup ironis juga bahwa buku mengenai batik yang memuat secara lengkap dari berbagai penjuru daerah, masih tergolong minim ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Bahkan, Smend diakui sebagai salah seorang kolektor Batik Jawa terbesar se-Eropa. Ia tercatat telah menulis dua buku mengenai batik yakni From the Courts of Java and Sumatra (2000) dan Batik 75 Selected Masterpieces (2006).

"Batik itu merupakan lambang keindahan dan sangat elegan," ujarnya dalam sebuah perjumpaan di Galeri Batik Jawa, Hotel Mustokoweni. Ia diundang khusus oleh pemilik galeri, Ir Dra Larasati Suliantoro Sulaiman untuk bertemu dengan beberapa rekan sesama pecinta batik dan desainer.

Menurut Smend, perkembangan batik sebagai kostum dan karya seni di Indonesia memang demikian dinamis. Batik dikenakan tidak saja ketika wanita bekerja di sawah, namun juga hadir di rumah-rumah, dalam resepsi dan upacara adat, muncul di tingkat bawah maupun elite, bahkan di tingkat kenegaraan. Lebih dari itu, kita juga kerap menyaksikan batik digunakan sebagai dekorasi, barang seni, bahkan suvenir wisata wajib yang populer.

Dalam sebuah pameran Batik Klasik Jawa bertema 'Unusual Encounters: Javanese Batik in Krakow' di Polandia pada tahun 2008, Smend merupakan satu-satunya yang menampilkan batik dari Yogya. Pada saat itu, batik Jawa yang turut ia pamerkan sebagian besar merupakan karya seni batik klasik milik Istana Sultan Yogya.Pria yang pernah menjadi juri lomba batik internasional 'Batik Jogja dengan Sutra dan Zat Warna Alam' di tahun 1997 ini, memang cukup akrab dengan keluarga dari Keraton Yogya. Saat peluncuran buku perdananya tahun 2000, ia bahkan mengundang Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk datang ke galeri miliknya yang bernama 'Galerie Smend'.

Smend pertamakali mengunjungi Yogya pada tahun 1973. Saat datang ke Tamansari ia langsung terpikat ketika melihat seorang wanita yang mengenakan busana batik. Setelah dari situ, ia langsung mencari perajin batik karena penasaran ingin melihat proses pembuatannya, dan bertemu dengan seorang pria bernama Gianto. Selanjutnya pada tahun 1974, ia mengajak Gianto untuk ke Jerman dan mengajari beberapa karyawannya cara membatik.

Sesungguhnya di luar koleksi batik yang tersimpan di museum-museum ataupun perorangan asing, seperti koleksi Smend, sejumlah kain batik bernilai sejarah milik keluarga-keluarga terpandang atau pemilik dinasti batik masa silam, masih banyak yang belum sempat berpindah tangan, bahkan masih dirawat dengan baik oleh ahli warisnya.

Bila kain-kain tersebut mulai bisa diinventarisasi dan dipublikasikan, apalagi bila disiapkan oleh dan dari perspektif orang Indonesia sendiri, tentu akan lebih memperkaya seri penerbitan tekstil bersejarah Indonesia yang berguna dalam upaya mengungkapkan secara lebih mendasar aspek historis dan arti signifikan batik sebagai bukti eksistensi jati diri bangsa.

(Richardo DT // Oktober 2010)

Duka Veteran dalam Mengurus Piagam Trikora


DI tengah keraguan masyarakat mengenai eksistensi Indonesia yang sudah merdeka secara sejati, Waryanto, Veteran Trikora, tak pernah menyesal dengan perjuangan yang sudah ia lakukan, meskipun hingga sekarang kenyataan masih berkata lain, lantaran ia mengalami kesulitan saat mengurus Piagam Trikora.

Ia mengatakan, rakyat Indonesia merupakan keturunan pahlawan karena semua berjuang untuk kemerdekaan. Penjajah asing telah lama pergi, namun kini giliran penjajah dari bangsa sendiri bermunculan. Rasa persatuan yang dulu didengungkan dalam pekik merdeka sekarang hanya tinggal kenangan.Keluhan pria kelahiran 17 Juli 1938 ini bukannya tanpa alasan. Ketika mengurus Piagam Trikora yang hanya ingin dijadikannya sebagai pengingat saat membela Tanah Air, dilaluinya dengan penuh lika-liku.

Waryanto pertama kali mengerti jika Veteran Trikora bisa mengurus piagam, dimulai pada tahun 2003 saat diberitahu temannya sesama Veteran. Semenjak itu, ia pun langsung mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran. Setelah melalui proses cukup panjang, akhirnya ia mendapatkan surat pengakuan gelar kehormatan pahlawan perang pada tanggal 31 Desember 2008. Hanya saja data yang tertulis, mulai dari nama, nomor pendaftaran, masa bakti, hingga domisilinya berbeda dengan berkas yang ia lampirkan.

Nama yang tertulis Maryanto, yang benar Waryanto. Nomor pendaftaran terlampir IV/19/09/IX/2008 Tanggal 30-05-2008, semestinya IV/19/09/2008 Tanggal 30-09-2008. Golongan (masa bakti) tercatat C Masa Bhakti 0 Tahun 6 Bulan, seharusnya A Masa Bhakti 1 Tahun 6 Bulan. Domisili tertera Gedongkiwo MJ I/1062 Kec Mantrijeron Yogyakarta, semestinya Gedongkiwo MJ I/1072 Kec Mantrijeron Yogyakarta. Veteran perwira intelejen lapangan ini kemudian mengajukan permohonan revisi melalui surat yang ditujukan kepada Babinminvetcaddam IV/Dip tanggal 12 Juli 2010, namun hingga sekarang belum ada kelanjutannya. Setelah itu, Waryanto meminta bantuan ke Ombudsmen RI Perwakilan DIY dan Jateng, yang akhirnya mengeluarkan surat ditujukan pada Babinminvetcaddam IV/Dip pada tanggal 27 Agustus 2010.

"Saya hanya minta agar proses mengurus Piagam Trikora diperlancar, tidak ada lagi praktek-praktek pungli. Dalam usia 72 tahun ini, saya masih harus bekerja banting tulang karena tidak ada penghasilan yang bisa diharapkan. Sehari-hari saya bekerja menunggu warung dan mengemudi angkutan barang," ujar ayah dari lima orang anak ini yang juga sempat mengirimkan surat kepada Presiden SBY pada tanggal 12 Desember 2009 mengenai susahnya ia dalam mengurus Piagam Trikora.

Di sebagian besar daerah di dunia, Veteran diperlakukan amat hormat oleh masyarakat. Di Amerika Serikat misalnya, ada hari khusus untuk mengenang para Veteran perang, yakni Hari Veteran. Para Veteran itu tidak hanya diberi tunjangan biaya hidup, namun juga perawatan kesehatan cuma-cuma, asuransi hari tua, pekerjaan, gedung pertemuan, hingga urusan pemakaman dan beasiswa bagi putera-puterinya.

Sudah sewajarnya kita semua berkewajiban memberikan perhatian kepada para Veteran agar dapat duduk kembali pada tempat yang semestinya, terutama di hati masyarakat sebagai sumber inspirasi perjuangan.

(Richardo DT // Oktober 2010)

Berbagi…

Sewaktu masih kanak-kanak, ada banyak kenangan yang akan selalu saya kenang, karena mampu menggugah sisi emosional. Salah satu yang paling melekat yakni berhubungan dengan makanan.

Dulu, setiap hari di rumah pasti selalu tersedia bermacam-macam buah. Tapi, untuk buah-buah tertentu seperti apel atau anggur, bisa dibilang llangka (maklum waktu itu saya tinggal di kampung, jadi yang ada ya buah kampung seperti jambu, pisang, mangga, rambutan yang bisa ditanam sendiri). Nah…kalau ada buah dari kota yang disebutkan tadi, saya bersama dengan kakak dan adik selalu kompak duduk manis agar saat pembagian, kami bisa mendapatkan jatah buah sama banyak.

Ada pengalaman unik di satu waktu. Saat buah apel di kulkas tinggal satu, ketika itulah ibu terkadang terlihat bingung, sebab ia harus memikirkan bagaimana caranya membagikan secara rata pada 3 orang anaknya. Hingga akhirnya, ibu mendapat ide. Jalan keluarnya, apel itu dibelah tiga, dan semua mendapatkan jatah masing-masing. Namun, justru dari situlah kadang pangkal masalah bermula.

Karena masing-masing berharap mendapatkan jatah potongan paling besar, biasanya salah satu potongan yang secara kasat mata terlihat besar, bisa dipastikan akan menjadi rebutan. Namun, ibu pun tak kalah cerdiknya. Terkadang ia sampai membawa timbangan. Hasil potongan yang tadi dipotong, kemudian ditimbang dan di perlihatkan ke anak-anaknya, hahhahaa…..Memang hal sepele, tapi dari situlah saya mulai belajar mengenai pentingnya berbagi.

Sama halnya ketika sudah berada di sekolah. Dulu saya sekolah di SD 2 Kecamatan Belitang Hulu (dulu belum masih disebut desa, belum kecamatan), Kabupaten Sanggau, Kalimatan Barat. Di sekolah itu saya memiliki tiga orang teman akrab, namanya Andi, Jol dan Simon. Sudah hampir berbelas tahun lamanya saya tidak bernah berjumpa dengan ketiganya. Yang saya dengar mereka sekarang sudah berkeluarga dan punya momongan, aminnnn…..

Jika sudah istirahat, kami selalu ke kantin bersama. Saat itu kami punya ritual unik. Sebelum mulai membeli jajanan, kami selalu menunjukkan uang jajan. Jadi, saat itu kalau ada salah seorang di antara kami yang tidak membawa uang jajan, maka akan ketahuan. Yang pasti uang itu dikumpulkan bukan untuk saling pamer, namun agar semua bisa makan saat istirahat.

Pada mulanya, saya sempat tidak suka dengan pertemanan seperti ini. Saya berpikir uang jajan saya kok malah ikut dibagi-bagikan. Namun, pada suatu hari saya kena batunya. Ketika itu saya lupa membawa uang jajan, sehingga lebih memilih untuk diam saja dikelas, karena percuma ke kantin. Tanpa diduga, mereka malah menghampiri dan sekaligus mengajak untuk jajan bareng. Selepas itu saya tidak pernah mempertanyakan lagi kenapa kami harus melakukan ritual unik itu.

Beberapa waktu yang lalu (Juni 2010), di sebuah sudut kota Jogja saya melihat seorang lelaki tua duduk di angkringan. Ia cukup lama hanya duduk saja sambil memandang makanan-makanan di situ. Barangkali sekitar satu jam. Karena merasa iba, Ibu yang menjual angkringan itu pun mencoba menawarkan sebungkus nasi kucing. Diluar perkiraan saya, pria yang umurnya sekitar 60 tahun ini malah menolak. Dia mengatakan, hanya numpang duduk untuk menunggu temannya.

Namun, dari sorot matanya ia tidak bisa berbohong kalau ia memang terlihat lapar. Mungkin karena tidak memiliki uang ia hanya dapat memandanginya saja. Si Ibu penjual angkringan pun tahu akan jal itu. Karena memang berniat membantu, si Ibu angkringan mengatakan, nasinya gak usah dibayar. Tapi setelah selesai makan ia minta tolong untuk dicucikan piring dan gelas. Tawararan ini ternyata disetujui si Bapak

Awalnya saya sempat berpikir jika si Ibu tadi tidak ikhlas. Namun, beberapa menit kemudian saya sadar kalau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Ibu angkringan tau kalau Bapak tersebut tidak akan mau menerima pemberiannya begitu saja. Makanya, ia mencoba alternatif lain, pura-pura minta tolong. Semoga saja dugaan saya benar.

Well….berbagi itu memang indah….