Selasa, 24 Mei 2011

Terbengkalainya Harapan Putera Langit

Teriknya panas matahari siang itu, tak membuat Putera Langit (16) mengurungkan niatnya untuk kembali bermain bola bersama teman-teman sekitar rumah di kampung Nusantara Belantara. Meskipun pertandingan biasanya baru mulai pada sore hari, namun sejak siang Putera Langit dan teman-temannya sudah berkumpul. Mereka biasanya terlebih dahulu membahas seputar isu sepakbola terbaru.

Saya kebetulan hanya iseng saja ngobrol dengan anak-anak SMA itu dan mencoba untuk masuk dalam pergaulan mereka, walaupun dari segi umur terpaut agak jauh. Kegiatan sehari-hari mereka memang dihabiskan untuk bermain bola. Bukan karena tidak ada kegiatan lain, namun karena mereka cinta olaharaga sejuta rakyat itu.

Sepintas saya melihat wajah muram Putera Langit, tidak sepertinya biasanya. Padahal, Putera Langit terkenal lihai dalam mencairkan suasana, lewat celetukan-celetukan konyolnya. Setelah saya selidiki dan bertanya dengan beberapa temannya, barulah saya mengerti. Ternyata, penyebab dari murungnya wajah anak laki-laki serba bisa itu karena masalah uang SPP.

Ayah Putera Langit adalah seorang pensiunan pegawai negeri sipil. Pekerjaan yang saat ini ia lakoni yakni berjualan bakso. Sementara ibunya, sehari-hari menerima orderan jahit pakaian dari tetangga sekitar rumah. Putera Langit adalah anak tunggal.

“Dengar-dengar lagi ada masalah ya?” ujar saya membuka pembicaraan.

“Iya mas. Tau dari mana?” kata Putera Langit seraya menatap sekilas.

“Tadi saya diceritain sama teman-teman kamu.”

“Ohhhh…..Tapi ya gak apa-apa kok mas. Nanti juga pasti beres.” Putera Langit pun bergegas ke lapangan menyusul teman-teman di lapangan.

Saya memang sering mengikuti perkembangan Putera Langit. Padahal kami tidak memiliki ikatan saudara. Saya hanya kagum karena dia termasuk anak yang multitalenta. Di dalam tim sepakbola, Putera Langit menempati posisi playmaker. Dia merupakan ruh permainan tim. Mulai dari mengontrol ritme pertandingan, mengambil tendangan penjuru, tendangan bebas hingga algojo penalti, dipercayakan kepadanya.

Di lihat dari permainannya pun, Putera Langit termasuk paling menonjol. Dia mampu mendribling bak Zidane yang membuat lawannya terperangah, punya keakuratan tendangan bebas seperti Beckham dan dingin saat mengeksekusi penalti. Tak heran, dalam setipa laga, Putera Langit selalu menjadi incaran bek-bek lawan yang kasar. Namun, itu semua tidak pernah membuat ia gusar. Selesai pertandingan, Putera Langit pun selalu tersenyum kepada sang lawan, meskipun ia mendapat balasan senyum kecut.

Diluar lapangan hijau, Putera Langit bisa memainkan banyak olahraga. Dia tergolong piawai saat bermain voli, tenis meja, catur, biliar, bulutangkis serta sedikit bola basket. Bagaimana mungkin seorang bocah berusia 16 tahun bisa menguasai banyak cabang olahraga? Hal ini tidak terlepas dari peran sang ayah yang sama-sama gemar olahraga. Semua jenis cabang olahraga itu ia dapat saat masih duduk di bangku sekolah dasar.

Pada awalnya, Putera Langit hanya bersenang-senang saja. Namun, tanpa ia sadari, hal itu justru membuat ia tampak istimewa. Jika dibandingkan dengan teman sebayanya, Putera Langit memang terbilang menonjol. Selain itu, Putera Langit juga memiliki ketertarikan dibidang seni. Jika tidak sedang keluar rumah, dia sering bermain gitar dan bernyanyi, serta membuat puisi. Yang pasti, di mata saya Putera Langit adalah anak yang cerdas dan periang.

Hanya saja, segala keriangan Putera Langit runtuh karena dihadapkan pada masalah yang tidak sanggup ia selesaikan sendiri. Putera Langit sebelumnya sudah beberapa kali mengajukan surat untuk mendapatkan beasiswa. Karena dia termasuk siswa yang selalu masuk 10 besar dan berprestasi dalam bidang olahraga, Putera Langit yakin akan mampu meraih bantuan dana untuk pendidikanya.

Janji tinggalah janji. Uang yang dulunya sudah dijanjikan oleh pihak sekolah untuk diberikan padanya, ternyata hingga kini belum ia dapatkan. Yang ada, sang Kepala Sekolah justru ditangkap pihak kepolisian karena di duga menggelapkan dana beasiswa. Itu artinya, uang sekolah untuk Putera Langit lenyap tak berbekas. Musnah sudah harapannya.

+++

Menginjak malam, Putera Langit seperti biasa bermain gitar di dalam kamar. Lama, ia hanya memainkan nada-nada tak beraturan, padahal pikirannya sedang melayang ke tempat lain. Merasa lelah, ia pun meletakkan gitarnya dan mulai merebahkan diri diatas kasur empuk yang sudah selama 10 tahun tak pernah diganti.

Dia mulai mereka-reka masa depannya. Jika memilih profesi sebagai olahragawan, ia takut tidak bisa membantu perekonomian keluarga. Ia pun meyakinkan diri kalau olahraga yang telah ia tekuni selama ini, terutama sepakbola, hanya dijadikan sebagai hobi saja. Kelak, ia bertekad untuk kerja kantoran saja atau menjadi pegawai negeri sipil, mengikuti jejak ayahya.

Sungguh sayang, padahal Putera Langit sempat beberapa kali mendapat panggilan untuk latihan bersama dengan Cakar Garuda, tim sepakbola lokal di kampung Nusantara Belantara. Dalam beberapa kali kesempatan, sang pelatih sempat menawarinya untuk bermain saja bersama mereka. Namun, Putera Langit sadar, jika menjadi pemain di tim sepakbola lokal, apalagi sekelas antar kampung, tidak akan bisa membantu perekonomian keluarga.

Tanpa terasa, waktu cepat bergerak dan sudah pukul 01.00. Mata Putera Lagit pun tak mampu lagi untuk menerawang….

*Februari 2011

Tidak ada komentar: