Selasa, 24 Mei 2011

Berbagi…

Sewaktu masih kanak-kanak, ada banyak kenangan yang akan selalu saya kenang, karena mampu menggugah sisi emosional. Salah satu yang paling melekat yakni berhubungan dengan makanan.

Dulu, setiap hari di rumah pasti selalu tersedia bermacam-macam buah. Tapi, untuk buah-buah tertentu seperti apel atau anggur, bisa dibilang llangka (maklum waktu itu saya tinggal di kampung, jadi yang ada ya buah kampung seperti jambu, pisang, mangga, rambutan yang bisa ditanam sendiri). Nah…kalau ada buah dari kota yang disebutkan tadi, saya bersama dengan kakak dan adik selalu kompak duduk manis agar saat pembagian, kami bisa mendapatkan jatah buah sama banyak.

Ada pengalaman unik di satu waktu. Saat buah apel di kulkas tinggal satu, ketika itulah ibu terkadang terlihat bingung, sebab ia harus memikirkan bagaimana caranya membagikan secara rata pada 3 orang anaknya. Hingga akhirnya, ibu mendapat ide. Jalan keluarnya, apel itu dibelah tiga, dan semua mendapatkan jatah masing-masing. Namun, justru dari situlah kadang pangkal masalah bermula.

Karena masing-masing berharap mendapatkan jatah potongan paling besar, biasanya salah satu potongan yang secara kasat mata terlihat besar, bisa dipastikan akan menjadi rebutan. Namun, ibu pun tak kalah cerdiknya. Terkadang ia sampai membawa timbangan. Hasil potongan yang tadi dipotong, kemudian ditimbang dan di perlihatkan ke anak-anaknya, hahhahaa…..Memang hal sepele, tapi dari situlah saya mulai belajar mengenai pentingnya berbagi.

Sama halnya ketika sudah berada di sekolah. Dulu saya sekolah di SD 2 Kecamatan Belitang Hulu (dulu belum masih disebut desa, belum kecamatan), Kabupaten Sanggau, Kalimatan Barat. Di sekolah itu saya memiliki tiga orang teman akrab, namanya Andi, Jol dan Simon. Sudah hampir berbelas tahun lamanya saya tidak bernah berjumpa dengan ketiganya. Yang saya dengar mereka sekarang sudah berkeluarga dan punya momongan, aminnnn…..

Jika sudah istirahat, kami selalu ke kantin bersama. Saat itu kami punya ritual unik. Sebelum mulai membeli jajanan, kami selalu menunjukkan uang jajan. Jadi, saat itu kalau ada salah seorang di antara kami yang tidak membawa uang jajan, maka akan ketahuan. Yang pasti uang itu dikumpulkan bukan untuk saling pamer, namun agar semua bisa makan saat istirahat.

Pada mulanya, saya sempat tidak suka dengan pertemanan seperti ini. Saya berpikir uang jajan saya kok malah ikut dibagi-bagikan. Namun, pada suatu hari saya kena batunya. Ketika itu saya lupa membawa uang jajan, sehingga lebih memilih untuk diam saja dikelas, karena percuma ke kantin. Tanpa diduga, mereka malah menghampiri dan sekaligus mengajak untuk jajan bareng. Selepas itu saya tidak pernah mempertanyakan lagi kenapa kami harus melakukan ritual unik itu.

Beberapa waktu yang lalu (Juni 2010), di sebuah sudut kota Jogja saya melihat seorang lelaki tua duduk di angkringan. Ia cukup lama hanya duduk saja sambil memandang makanan-makanan di situ. Barangkali sekitar satu jam. Karena merasa iba, Ibu yang menjual angkringan itu pun mencoba menawarkan sebungkus nasi kucing. Diluar perkiraan saya, pria yang umurnya sekitar 60 tahun ini malah menolak. Dia mengatakan, hanya numpang duduk untuk menunggu temannya.

Namun, dari sorot matanya ia tidak bisa berbohong kalau ia memang terlihat lapar. Mungkin karena tidak memiliki uang ia hanya dapat memandanginya saja. Si Ibu penjual angkringan pun tahu akan jal itu. Karena memang berniat membantu, si Ibu angkringan mengatakan, nasinya gak usah dibayar. Tapi setelah selesai makan ia minta tolong untuk dicucikan piring dan gelas. Tawararan ini ternyata disetujui si Bapak

Awalnya saya sempat berpikir jika si Ibu tadi tidak ikhlas. Namun, beberapa menit kemudian saya sadar kalau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Ibu angkringan tau kalau Bapak tersebut tidak akan mau menerima pemberiannya begitu saja. Makanya, ia mencoba alternatif lain, pura-pura minta tolong. Semoga saja dugaan saya benar.

Well….berbagi itu memang indah….

Tidak ada komentar: