Selasa, 24 Mei 2011

Berdamailah dengan Diri Sendiri...

Jika ditanyakan pada setiap manusia, apakah mudah melupakan rumah tempat mereka pertama kali dibesarkan? Saya yakin jawabannya tidak. Masalah seperti ini biasanya paling dirasakan oleh anak-anak. Mereka terkadang menolak jika harus pindah rumah karena khawatir tidak akan merasa senyaman seperti rumah sebelumnya.


Itu memang merupakan premis sederhana yang kurang masuk logika kedengarannya. Tapi, apakah masalah perasaan juga selalu bisa dikonversikan dengan sempurna apabila dihadapkan pada logika? Saya yakin tidak semudah itu. Ada banyak benturan dalam diri seorang anak, sebelum ia akhirnya bisa menerima keputusan jika ia memang harus pindah ke rumah baru.
Bagaimana mungkin bisa melupakan kamar tempat pertama kali kita terbaring saat masih balita? dapur tempat makan bersama keluarga? ruang tamu yang biasanya tempat bercengkrama seraya menonton televisi dikala malam? halaman rumah tempat bermain bersama dengan teman tetangga? Hal-hal semacam itulah yang kadang akan selalu kita ingat, meskipun berpuluh-puluh tahun kemudian.


Kerinduan semacam itu, oleh orang-orang tua zaman dulu, ada penyebabnya. Begini (bagi yang percaya saja), saat kita pertama kali dilahirkan, biasanya ari-ari kita dipotong. Dan bagi beberapa orangtua ada yang menanamkannya dibawah rumah. Hal itu menyebabkan ikatan batin tertentu dengan rumah tempat ia dibesarkan. Jadi, sampai besar pun memori indah di rumah pertama akan selalu terbawa.


Dari segi positif, kenangan masa lalu biasanya akan mendatangkan sumber inspirasi bagi seseorang. Entah sudah berapa banyak, para penulis, pembuat film atau pekerja kreatif lainnya yang dalam testimoninya selalu menyebutkan pengalaman masa kecil merupakan salah satu inspirasi terciptanya karya mereka.


No kidding. Seseorang yang sering berkhayal mengenai masa kecilnya, biasanya ingin mengulangnya kembali. Dipandang dari segi negatif, apakah mereka bisa disebut tidak bisa melupakan masa lalu dan terjebak didalamnya? Tidak. Mereka hanya sekedar rindu saja dan tidak tenggelam didalamnya. Karena seiring dengan banyaknya aktifitas, biasanya hal-hal semacam itu akan terkikis dengan sendirinya.


Namun, tetap saja sampai menginjak umur berapapun, dalam momen-momen tertentu kita kadang 'tergoda' untuk kembali ke masa-masa lampau. Kendati ada beberapa kenangan buruk yang turut serta didalamnya, tak lantas membuat kita 'mundur'.


Bicara soal kenangan buruk, hal ini biasanya mendatangkan trauma yang mendalam dan malah menciptakan ketakutan tersendiri terhadap masa lalu. Saya sering mendengar cerita teman yang mengatakan, jika ada alat yang bisa menghapus masa lalu, maka mereka ingin membelinya, semahal apapun itu.


Saya kadang cukup miris juga jika mendengar cerita buruk yang malah mendatangkan trauma berkepanjangan terhadap teman saya. Bukan berarti saya melewati masa kecil dengan baik-baik saja. Seperti sebagian orang, saya juga pernah mengalaminya. Hanya saja, hal itu tidak membuat saya terperangkap di dalamnya. Caranya? Memaafkan diri sendiri dan orang lain yang ikut menciptakan trauma tersebut.


Kendati sangat berat karena rasanya tidak adil, tapi itu merupakan cara terbaik yang saya ketahui. Saya beranggapan, tidak ada hal baik dan buruk di dunia ini yang abadi. Berdamai dengan diri sendiri adalah cara terbaik mengatasi sebuah permasalahan.


Saya menganalogikannya seperti ini. Didalam otak kita, ada beberapa ruang tempat menyimpan memori, termasuk yang buruk dan menyenangkan. Yang sering saya lakukan yakni membuka ruangan tempat menyimpan memori indah, karena hal itu dapat membuat saya mudah menjalani hidup. Namun, saya juga kadang-kadang membuka pintu tempat kenangan buruk tersimpan. Untuk apa? Sebagai pengingat jika saya terbentuk dari hal-hal yang baik dan buruk.


Yang pasti saya bukanlah seorang motivator atau pun problem solver. Cerita ini saya tulis setelah mendengar cuhatan dari seorang teman (November 2010) yang sampai berniat bunuh diri karena terus berada dalam lingkaran buruk masa lalunya. Ketika berada di rumah sakit, wanita yang berusia sebaya dengan saya ini mengatakan, trauma masa kecilnya sangat kuat sekali seolah menghantuinya setiap detik.


Saya tidak akan menceritakan masalah apa yang dideritanya, karena tidak ingin menambah lukanya. Disamping itu, dia juga tidak mengetahui jika saya menulis berdasarkan pengalamannya, bukan untuk mengingatkan dia mengenai trauma yang dihadapinya, melainkan sebagai penyemangat.


Teman saya ini sudah beberapa kali berkonsultasi dengan psikiater. Namun, kadang-kadang hal itu tidak mampu untuk mengatasi masalahnya. Keluarga pun sudah memberi suport yang tak henti. Saya berharap, meskipun kontribusi saya cukup kecil, hanya lewat tulisan, juga turut andil dalam mengembalikan semangatnya menjalani kehidupan. Bukankah dunia ini tempat yang indah untuk tersenyum?


*Desember 2010

Tidak ada komentar: