Selasa, 24 Mei 2011

Antara Ayam Goreng, Kayu Bakar dan Konsistensi 2 Ratus Rupiah…

Banggggguuunnnnnnn……udah siang. Mandi sana biar nanti gak terlambat sekolah…..
Itulah petikan salah satu kalimat terkenal dari orang yang melahirkan saya. Kurang lebih selama enam tahun, sejak masih di bangku SD, saya sangat akrab dengan kalimat itu. Sekarang mungkin sudah hampir 14 tahun saya tidak mendengarnya lagi. Kangen? Jelas banget, heehheee…

Itulah awal saya memperkenalkan sosok ibu kepada Anda. Barangkali saya terlalu sombong kalau menyebut ibu adalah orang yang baik. Tapi, saya lebih suka menyebut dia figur yang lucu dan menyenangkan. Nama lengkap ibu saya Theresia Nona. Saya sampai sekarang masih penasaran apakah ada korelasinya nama depan mamak, demikian saya memanggilnya, dengan Bunda Teresa yang terkenal sangat pemurah dan penyabar itu.

Penyabar? Hahhaaaa….kalau mengingat masa kecil sewaktu dia memaksa saya minum susu dancow setiap pagi, tunggu dulu…. Mungkin saya setuju kalau mamak penyabar dalam hal menuruti selera makan dan rela mengganti menu masakannya secepat kilat agar saya mau makan.

Yuuuppss….sejak kecil, diantara saudara yang lain, saya memang cerewet ketika di suruh makan. Jadi, bagi yang sudah pernah melihat saya, maka tidak akan heran kenapa bentuk tubuh saya seperti ini. Dulu…selera makan saya baru keluar kalau ada ayam goreng di meja makan. Selain itu, no way….Apalagi sewaktu disuguhi sayur, alamat deh kalau bakal dibuang ke bawah meja. Untunglah sekarang saya sudah tidak memilih-milih makanan.
Dalam hal memasak, saya sangat bangga dengan mamak saya. Farah Quin pun lewat mungkin, hehehee…. O iya dulu selain ayam goreng, saya sangat suka dengan sate ayam yang tentunya dibuat sendiri oleh si mamak. Sewaktu dia membakar sate ayam, saya selalu setia menunggu di sampingnya. Dia tau, sate pertama yang sudah matang pasti langsung diserahkan pada saya, tanpa harus bertanya mau atau tidak. Kejadian ini berlangsung hampir beberapa tahun…

Hal sabar lainnya yang saya ingat, mamak tak pernah sekalipun memukul saya, baik dengan tangan apalagi menggunakan rotan, seperti yang sering saya tonton di film-film itu. Cuma dulu saya pernah sekali hampir mau dipukul menggunakan kayu bakar (api). Waktu itu ceritanya saya sedang bermain bersama kakak saya. Suara kami yang terlampau keras, rupanya terdengar mamak yang sedang berbelanja di warung sebelah.

Ketika saya tengah asik bermain kungfu-kungfuan ala Jet Lee di ruang tamu, mamak pun lewat. Herannya dia tidak menegur kami, dan malah langsung ke dapur. Padahal waktu itu saya sempat berhenti sebentar, karena takut di marah. Setelah melihat dia ke dapur, saya pun melanjutkan adegan laga itu. Namun, selang berapa menit kemudian saya kaget bukan kepalang karena mamak berdiri di belakang kami dengan membawa sebatang kayu bakar….

Apa yang kami lakukan? Pastinya ngaciiirrrr……Hahahhahahaa……Inilah seumur hidup saya hampir di pukul pakai kayu api. Saya waktu itu takut kalau harus pulang cepat. Jadi, pulanglah saya agak sore menjelang malam, menunggu pas Bapak udah di rumah, maksudnya supaya bisa minta pertolongan. Oohhh…. ya saya lupa memberitau profesi mamak adalah seorang penjahit. Waktu itu ketika saya datang kerumah dan melewati depan beliau dengan perasaaan yang campur aduk, mamak duduk di ruang tamu seperti biasa sambil menjahit. Seolah tidak terjadi apa-apa…

Mau tau apa yang pertama kali diucapkannya? Udah mandi belum? Abis itu makan ya. Tuh disana udah ada ayam goreng, waaahhhhhhh………Dengan muka pura-pura berdosa saya pun bergegas ke kamar sambil menahan tawa. Dalam hati saya berkata, cukup sekali itu saja insiden kayu bakarnya, dan itu menjadi sejarah terlucu yang sering saya munculkan kembali ketika rindu kampung halaman di Kalimantan, hehheeee……

Selain itu, saya selalu mengingat sangat konsistennya si mamak ini dalam memberi jatah uang jajan pada anaknya. Sewaktu masih SD, saya sangat akrab dengan jatah uang dua ratus rupiah. Dan hal ini berlangsung sampai beberapa tahun, padahal teman saya yang lain kala itu selalu mendapat tambahan, seiring dengan kenaikan kelas.

Untuk hal yang satu ini, saya memang tidak bisa berbuat apa-apa. Kata mamak, kalau mau makan kenyang di sekolah kan bisa bawa bekal nasi dari rumah. Tapi, saya waktu itu gengsi kalau harus repot-repot bawa tempat nasi. “Kamu mau belajar atau cuma numpang jajan aja di sekolah?” ucapnya kala itu.

Ketika kalimat sakti tersebut keluar dari mulut si mamak, saya tak bisa membantah. Beberapa tahun kemudian saya baru sadar kalau apa yang dilakukan si mamak memang untuk membentuk mental anaknya agar tidak mata duitan (Gayus harus baca ini). Padahal, waktu itu saya selalu menyebut dia pelit, hheheee…..sori mom….

Tulisan ini sebenarnya saya buat sebagai ucapan terimakasih pada si mamak karena telah membesarkan saya seperti ini, dan bertepatan dengan Hari Ibu tanggal 22 Desember. Sekali lagi, saya tidak akan menyebut dia sebagai pahlawan atau apalah itu. Saya lebih suka menyebut dia teman yang menyenangkan….

*Desember 2010

Tidak ada komentar: